Jurnal Ilmiah Pascasarjana UNISKA Magister Hukum
PRINSIP DEMOKRASI
ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (UUD N RI Tahun
1945)
Dyah Ochtorina
Susanti[1]
ABSTRACT
Islam is a religion that contains universal values,
and always suitable
for use in various aspects of life. One is the democratic principles of Islam which was adopted by
the Constitution of the Republic
of Indonesia,
namely the Constitution of the Republic
of Indonesia Year
1945. Recognized or not, the principles of Islamic
democracy contained in the Qur'an
used to be the
basis for Indonesia in the
running wheels of government and
maintaining harmony in national life.
Keywords : Principles of Islamic Democracy, the Constitution of the
Republic of
Indonesia
Year 1945.
PENDAHULUAN
Indonesia
adalah Negara dengan penduduk yang majemuk, berbeda latar belakang sosial
budaya serta berbeda agama dan kepercayaan yang dianut penduduknya. Terkait
dengan perbedaan agama dan kepercayaannya, Islam merupakan agama yang dianut
mayoritas penduduk Indonesia.
Perlu dipahami, meskipun Indonesia
bukan Negara berdasar agama Islam,[2] namun
konstitusi Negara Indonesia
(diakui atau tidak) memuat prinsip-prinsip demokrasi Islam, sebagaimana yang
akan penulis uraikan di bagian pembahasan.
Guna
menarik benang merah mengapa prinsip-prinsip demokrasi Islam ada dalam
konstitusi Indonesia,
penulis akan menguraikan hal ikhwal yang membuat konstitusi Indonesia memuat prinsip demokrasi
Islam. Pemikiran awal tentang adanya prinsip demokrasi Islam dalam konstitusi
Negara Indonesia, mulai tampak ketika pemerintah penjajah Jepang membentuk
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 24
April 1945, sebagai perwujudan janji pemerintah Jepang atas kemerdekaaan
Indonesia. Perdebatan berporos pada
dua kubu; nasionalis muslim dan nasionalis sekuler. Ketika kelompok nasionalis
sekuler mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, ditentang oleh kelompok
nasionalis muslim, dengan alasan bahwa Pancasila hanya sekedar hasil pemikiran
filosofis manusia. Golongan nasionalis muslim menginginkan Islam dijadikan
sebagai dasar dan falsafah negara, tapi keinginan ini ditentang oleh kelompok
nasionalis sekuler. Perdebatan yang alot ini kemudian berhasil mencapai titik
temu dan kompromi, yaitu dengan adanya tambahan pada sila pertama Pancasila,
dengan tambahan kata; dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, kelompok Kristen
menemui Muhammad Hatta, dan menyatakan keberatan atas bunyi sila pertama dalam
piagam Jakarta. Setelah Bung Hatta menemui kelompok nasionalis Muslim, kemudian
dicapai kesepakatan, sehingga bunyi sila pertama Pancasila menjadi; Ketuhanan Yang
Maha Esa. Golongan nasionalis muslim menerima formula baru itu karena kata;
Yang Maha Esa yang dicantumkan setelah kata Ketuhanan, mencerminkan doktrin
kepercayaan tauhid yang berarti sesuai dengan akidah Islam.[3]
Perdebatan antara kelompok
nasionalis muslim dan nasionalis sekuler, kembali mencuat di era kepemimpinan
Presiden Soekarno (Orde Lama). Pada tahun 1955 perdebatan tentang tentang dasar
negara kembali menjadi polemik di Konstituante, partai-partai Islam mengusulkan
Islam sebagai dasar negara (yang merupakan prasyarat pemberlakuan syariat
Islam), tapi partai-partai nasionalis mempertahankan Pancasila. Polemik itu diakhiri
dengan keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 6 Juli 1959, untuk kembali ke
Pancasila dan UUD 1945.[4] Selain di Konstituante,
keinginan sebagian umat Islam atas Islam sebagai dasar negara,[5] diwujudkan dalam bentuk
pemberontakan-pemberontakan, seperti munculnya DI/TII di Jawa Barat, yang
dipimpin Karto Suwiryo, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh, dan di Sulawesi
Selatan dipimpin Kahar Muzakar.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah
Bung Karno diberhentikan oleh MPRS, masuklah era Orde Baru. Pada masa orde
baru, di bawah pimpinan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan asas negara, hubungan Islam dan negara, dan juga hubungan partai-partai
politik dengan negara. Ketiga politik Orde Baru itu dikenal dengan politik;
non-sektarian, massa mengambang, dan keseragaman ‘ideologi’ Pancasila. Menurut
Taufiq Nugroho, kebijakan Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam, dapat
dibagi pada dua fase, Pertama, antara tahun 1966-1985, pada masa ini
Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam dipenuhi dengan suasana kecemasan
sekaligus harapan, dan mendukung Islam jalur kultur dan memotong jalur
struktur. Pada periode ini, ada gerakan Islam yang dipelopori oleh Imron, yang
dikenal dengan peristiwa Tanjung Priok yang menggelorakan jihad, dan gerakan
Warman di Lampung yang menggelorakan gerakan anti komunisme Kedua, antara
tahun 1985-1997, pada periode ini kebijakan Orde Baru lebih melunak terhadap
Islam dan cenderung mengorganisir dan mengakomodasi kepentingan Islam,[6] yang salah satunya adalah
restu Presiden Soeharto atas berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia).
Menurut penulis, diakui atau
tidak diakui, perjuangan kubu nasionalis muslim memperjuangkan prinsip-prinsip
demokrasi Islam dalam konstitusi Negara Republik Indonesia mengalami pasang
surut, dan sampai hari ini, prinsip-prinsip yang telah diperjuangkan telah masuk
dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, yang dikenal dengan nama
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Terkait dengan hal ini, tulisan
ini adalah mengulas prinsip-prinsip demokrasi Islam yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI ISLAM DALAM
UNDANG-UNDANG
DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Indonesia adalah negara
dengan penduduk muslim terbesar. Indonesia adalah suatu negara nasional yang
memiliki dasar dan filsafat Pancasila yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya
dalam tulisan ini disingkat menjadi UUD N RI Tahun 1945) dijumpai rumusan
Pancasila sebagai berikut:
”... maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Berdasar hal tersebut diatas, maka dikemudian hari dikenal istilah
Pancasila, yang terdiri dari 5 (lima) sila atau dasar, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha
Esa;
2. Kemanusiaan yang adil
dan beradap;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5.
Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Dilihat
berdasar perspektif hukum Islam, maka sila pertama dapat dipahami identik
dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa dalam
ajaran Islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
pemeluk agama-agama lain untuk melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing. Sisi lain yang perlu dicatat dalam
hubungan dengan sila pertama ini ialah bahwa negara Republik Indonesia bukan
negara sekuler dan bukan pula negara agama.[7]
Prinsip yang terkandung dalam sila Pertama itu ialah adanya suatu pengakuan
bangsa Indonesia terhadap wujud Tuhan.[8]
Sila pertama kemudian
ditegaskan kembali dalam Pasal 29 ayat (1) UUD N RI Tahun 1945, yang berbunyi: ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.” Hazairin menafsirkan rumusan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD N RI Tahun
1945 antara lain sebagai berikut:[9]
1. Dalam negara RI tidak
boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam
bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani,
kaidah agama Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali atau yang bertentangan dengan
kesulilaan agama Budha bagi orang-orang Budha.
2. Negara RI wajib
menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, hukum Nasrani, dan hukum
Hindu-Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan hukum tersebut memerlukan
kekuasaan negara.
3. Syari’at yang tidak
memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat sendiri
dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban
pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri
menurut agamanya masing-masing.
4. Jika karena salah
tafsir atau oleh karena dalam kitab-kitab agama, mungkin secara menyelip
dijumpai sesuatu peraturan yang bertentangan dengan sila-sila ketiga, keempat
dan kelima dalam Pancasila, maka peraturan agama yang sedemikian itu, setelah
diperembukkan dengan pemuka-pemuka agama yang bersangkutan wajib di non
aktifkan.
5. Hubungan sesuatu
agama dengan sila kedua Pancasila dibiarkan kepada norma-norma agama itu
sendiri atau kepada kebijaksanaan pemeluk-pemeluk agama itu. Maksudnya: sesuatu
norma dalam sila kedua itu yang bertentangan dengan norma sesuatu agama atau
dengan paham umum pemeluk-pemeluknya berdasarkan corak agamanya, tidak berlaku
bagi mereka.
6. Rakyat Indonesia yang
belum termasuk ke dalam ”agama-agama yang empat” yang dimaksudkan tadi, yaitu
rakyat yang masih memuja roh nenek moyang dan makhluk rendah seperti binatang
dan pohon-pohon dan ciptaan khayal seperti mambang dan peri, ditundukkan kepada
sila-sila ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 dalam menjalankan kebudayaan yang normatif
yang ditimbulkan oleh pergaulan hidup mereka yang lazimnya disebut adat mereka
(hukuum adat, kesusilaan kemasyarakatan dan kesenian yang tradisional), yaitu
dalam menunggu berhasilnya usaha-usaha peningkatan hidup kerohanian mereka ke
taraf hidup keagamaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pendapat Hazairin diatas, maka tertautlah tafsir mengenai pasal
29 ayat (1) UUD N RI Tahun 1945 dengan tafsir mengenai pasal 29 ayat (2) UUD N
RI Tahun 1945.[10]
Lebih lanjut Hazairin menjelaskan bahwa kebudayaan normatif ciptaan manusia
adalah untergeornet (dikebawahkan)
kepada sila yang lebih utama dulu, dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa.[11] Harus diakui apabila
dilihat dari struktur Pancasila itu sendiri, maka sila pertama yaitu: Ketuhanan
Yang Maha Esa menempati posisi tertinggi dalam urutannya itu.Guna memperkuat
pendirian ini patut diperhatikan pandangan Bung Hatta dalam Ahmad Syafii Maarif
tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menurut beliau, sila Ketuhanan Yang
Maha Esa ”menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain.[12] Berdasarkan hal tersebut
sila pertama mempunyai hubungan organik dengan sila-sila lainnya.
Sebagaimana telah
diungkapkan diatas, bahwa sila pertama dilihat berdasar perspektif hukum Islam
dan ajaran Islam dapat dipahami identik dengan tauhid. Sehubungan dengan hal
ini, dapat ditemukan beberapa persamaan antara nomokrasi Islam dengan negara
hukum Republik Indonesia. Prinsip-prinsip
pokok yang terdapat di dalam demokrasi Islam yaitu musyawarah, keadilan,
persamaan dan kebebasan secara konstitusional baik eksplisit maupun implisit
dapat ditemukan dalam UUD N RI Tahun 1945. Berikut ini akan diuraikan mengenai
prinsip-prinsip dalam demokrasi Islam yang terdapat dalam UUD N RI Tahun 1945.
a. Prinsip Musyarawarah
Prinsip
musyawarah ini secara tegas dirumuskan dalam sila ketiga Pancasila. Penerapan
prinsip ini misalnya, dalam setiap pengambilan keputusan, salah satunya melalui
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selalu mengutamakan kebulatan pendapat daripada
”rumusan suara terbanyak” sebagaimana diterapkan dalam sistem demokrasi barat.
Kebulatan pendapat mengandung makna kesepakatan bersama dengan segala
konsekuensinya. Dikaitkan dengan nomokrasi Islam, maka suatu kesepakatan
bersama didasarkan pada prinsip Al-Mashlahah
yang mengutamakan kepentingan umum. Pada suatu musyawarah, perbedaan pendapat
harus dijunjung tinggi, semua pihak dengan bebas boleh mengemukakan
pendapatnya. Rumusan sila keempat tentang musyawarah adalah ”kerakyatakan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” memiliki
karakteristik tersendiri. Terkait dengan hal tersebut, maka ”kerakyatan” di
sini tidak secara otomatis identik dengan demokrasi barat, meskipun jiwa
demokrasi terdapat di dalamnya. Hazairin menamakan demokrasi yang diterapkan di
Negara Republik Indonesia adalah Demokrasi Pancasila.[13] Menurut Hazairin,
demokrasi Pancasila pada dasarnya adalah demokrasi sebagaimana yang telah
dipraktekkan oleh semua pihak-pihak Bangsa Indonesia semenjak dahulu kala dan
masih dijumpai sekarang ini dalam praktek hidup masyarakat-masyarakat hukum
adat, seperti desa, kuria, marga, nagari, dan wanua.[14]
Labih lanjut Hazairin
menjelaskan tentang ciri-ciri pokok perbedaan antara demokrasi barat dengan
demokrasi Indonesia. Pada demokrasi barat, kekuatan golongan atau kekuatan
partai politik sangat ditonjolkan, sehingga perbedaan antara yang berkuasa dan
yang dikuasai menonjol ke depan dan pertandingan adu tenaga antara
partai-partai merupakan hal yang umum. Demokrasi Indonesia lebih menekankan
pada persatuan dan kesatuan Indonesia.[15] Menurut penulis, ide
persatuan adalah suatu gagasan yang banyak diajarkan baik dalam Al-Qur’an
maupun dalam sunnah Rasul. Terkait dengan tujuan musyawarah itu sendiriadalah
untuk kemashlahatan umum dan untuk memelihara persatuan dan kesatuan manusia.
Berdasar hal ini, dapat dilihat adanya persamaan dalam penerapan musyarawah
yang dijumpai dalam demokrasi Pancasila. Persamaan itu terletak pada esensi
musyawarah yang kooperatif dan bukan kompetitif. Semangat musyawarah, baik
dalam nomokrasi Islam maupun dalam Demokrasi Pancasila adalah kerjasama dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran atau dalam bahasa Al-Qur’an ”berlomba-lomba
dalam melakukan keadilan”[16] dan melaksanakan doktrin amar ma’ruf nahi munkar[17]
Penerapan prinsip
musyawarah dapat pula dikaitkan dengan perkataan ”permusyawaratan” yang sudah
dilembagakan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat, yang merupakan manifestasi dari
suara rakyat, sebagaimana secara implisit dapat dilihat pada pasal 1 ayat 2 UUD
N RI Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa ”Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip
musyawarah merupakan salah satu bagian dari kultur bangsa Indonesia. Prinsip
ini digunakan baik dalam kehidupan publik (kenegaraan) maupun dalam kehidupan
privat (kekeluargaan). Terkait dengan hal yang demikian, prinsip musyawarah
telah memberikan warna budaya spesifik bagi rakyat dan Bangsa Indonesia yang
menurut kenyataan (berdasar perspektif
religio-sosio-kultural) sebagian besar bangsa Indonesia adalah penganut
agama Islam.
Menurut penulis, prinsip
musyawarah ini tidak berdiri sendiri, melainkan ditunjang dengan prinsip
lainnya seperti keadilan, persamaan dan kebebasan. Implementasi dari prinsip musyawarah,
seyogyanya setiap orang harus bersikap adil, memiliki rasa persamaan dan
kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya. Setiap orang yang turut dalam suatu
permusyawaratan harus diperlakukan secara adil, memiliki kedudukan sama dan
kebebasan penuh.
b. Prinsip Keadilan
Prinsip Keadilan telah
ditransformasikan ke dalam Pembukaan UUD N RI Tahun 1945, yaitu melalui sila
kedua, ”kemanusiaan yang adil yang
beradab” dan sila kelima ”keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Menurut penulis, adapun tujuan dari sila kedua
adalah ingin menempatkan manusia sesuai dengan harkatnya sebagai makhluk Tuhan.
Prinsip keadilan yang terkandung dalam sila kedua itu merupakan suatu pandangan
filsafati bangsa Indonesia yang tidak menginginkan adanya penindasan manusia
oleh manusia yang lain; baik secara lahiriyah maupun secara batiniah, baik oleh
bangsa lain,[18]
atau dalam bahasa Al-Qur’an dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia bersikap
anti kedholiman (tirani).
Pada makna yang lebih
luas, sila ”kemanusiaan yang adil dan
beradab” selain menekankan kepada faktor keadilan, juga menunjukkan pada
harkat dan derajat manusia yang berperadapan tinggi. Apabila hal ini dikaitkan
dengan Al-Qur’an, maka ”berperadapan
tinggi” dapat dikatakan identik dengan kemuliaan. Kemuliaan ini juga
dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa ”Sesungguhnya
telah Kami muliakan anak-anak Adam...”[19]
Pada sila kedua ini juga tercermin suatu sikap tegas dari bangsa Indonesia
yaitu anti penjajahan, karena penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan
dan peri keadilan.[20] Terkait dengan hal
tersebut, selain sila kedua yang bersifat nasional, di dalamnya terkandung juga
nilai-nilai universal yang diakui oleh masyarakat Internasional.
Dikaji berdasar hukum, maka
implementasi sila kedua dari Pancasila di Negara Republik Indonesia tiada lain
adalah implementasi salah satu prinsip dasar dari negara hukum. Indonesia
adalah suatu negara yang berdasarkan atas hukum dan bukan atas kekuasaan.
Terkait dengan hal tersebut, maka segala sesuatu diatur dalam suatu tata cara
tertentu dan memenuhi prosedur hukum. Apabila terjadi pelanggaran terhadap
kepentingan atau hak seseorang, maka orang yang bersangkutan tidak boleh
bertindak sendiri atau ”main hakim sendiri” untuk memperoleh haknya kembali.
Implementasi dari prinsip
keadilan ini, akan banyak bergantung kepada para pelaksana dalam hal ini tidak
terkecuali pejabat pemerintah dalam bidang eksekutif, juga pejabat-pejabat
dalam bidang yudikatif (para hakim). Pada implementasi penerapan prinsip
keadilan, para penegak hukum[21] memainkan peran yang
sangat besar. Pada ”tangan” merekalah
terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip keadilan
sebagaimana tercantum dalam sila kedua secara optimal dan maksimal. Lebih
lanjut, menurut penulis setiap putusan pengadilan, kebijakan pemerintah atau
pejabat eksekutif, dan undang-undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, berdasarkan perintah sila kedua dari Pancasila, wajib mencerminkan
prinsip keadilan dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Terkait dengan hal yang demikian, maka setiap produk (baik dari bidang
yudikatif, legislatif maupun eksekutif) tidak boleh bertentangan atau melanggar
sila kedua Pancasila. Sehubungan dengan hal ini, dalam nomokrasi Islam dikenal
suatu doktrin, apanila hukum tidak adil, maka rakyat mempunyai hak utuk tidak
mentaatinya.
c. Prinsip Persamaan dan Kebebasan
Prinsip persamaan dan
kebebasan ini dengan tegas dijamin dalam UUD N RI Tahun 1945, melalui pembukaan
UUD N RI Tahun 1945 bangsa Indonesia dengan tegas menyatakan:
”Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan diatas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri
keadilan.”
Pernyataan ini mengandung makna bahwa semua manusia memiliki persamaan dan
kebebasan. Keduanya merupakan hak-hak asasi manusia, sehingga tidak ada seorang
manusia atau satu kelompok manusia yang boleh mengklaim dirinya lebih tinggi
dari yang lain. Persamaan dan kebebasan itu merupakan hak-hak universal
menusia, karena itu hak-hak tersebut wajib dilindungi.
Pada pasal 27 ayat 1 UUD N
RI Tahun 1945 dengan tegas merumuskan:
”Setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Menurut penulis, rumusan tersebut mengandung makna bahwa semua warga negara
Republik Indonesia memiliki persamaan hukum dan hak-hak yang sama di hadapan
pemerintah. Terkait hal ini, maka dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh
terjadi diskriminasi terhadap para warganya. Tafsiran mengenai pasal 27 ayat 1
UUD N RI Tahun 1945 ini, sepanjang menyangkut prinsip persamaan itu berlaku
bagi siapapun, apakah ia seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah
penduduk Negara Republik Indonesia, maka mereka wajib tunduk pada hukum yang
berlaku di Negara Republik Indonesia dan mereka diperlakukan sama dihadapan
pengadilan (equality before the law and
the court)
Implementasi prinsip
persamaan di hadapan hukum mengkaitkan terutama peran para penegak hukum sebagaimana
telah dikemukakan diatas. Para hakim memegang peran yang paling utama, karena
itu implementasi prinsip-prinsip negara hukumtidak hanya sekedar secara
konstitusional sudah tercantum atau dirumuskan dalam suatu konstitusi atau
undang-undang dasar, namun pada akhirnya faktor manusia pelaksananya akan
sangat menentukan keberhasilan implementasi prinsip-prinsip negara hukum di
wilayah Negara Republik Indonesia.
Ditinjau berdasar
perspektif nomokrasi Islam, maka pasal 27 ayat 1 UUD N RI Tahun 1945 mengandung
2 (dua) macam prinsip nomokrasi Islam, yaitu pertama, persamaan, sebagaimana telah dijelaskan di atas dan
prinsip ketaatan rakyat.[22] Prinsip tersebut secara
eksplisit dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa segala warga negara (selain
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan) juga wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Kedua, kewajiban taat kepada ulil
amri (pemerintah) telah diterapkan di dalam pasal 27 ayat 1 UUD N RI Tahun
1945. Pada perkembangannya sampai saat ini belum ditemukan satu pasalpun dalam
konstitusi negara-negara Barat yang memuat kewajiban warga negara untuk
menjunjung pemerintahan. Biasanya hak-hak warga negara lebih ditonjolkan
daripada kewajiban mereka.
Mengenai implementasi
prinsip kebebasan dapat dilihat melalui pasal 28 huruf E ayat 3 UUD N RI Tahun
1945 yang berbunyi:
”Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”
Menurut penulis, tujuan dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 28 huruf E
ayat 3 UUD N RI Tahun 1945, ialah untuk menciptakan suatu masyarakat Indonesia yang
demokratis berdasarkan Pancasila. Kebebasan berserikat dan berkumpul adalah
hak-hak dasar manusia, demikian pula kemerdekaan mengeluarkan pendapat dan
pikiran baik secara lisan maupun tulisan dan dengan cara lain (misalnya melalui
rekaman kaset audio visual dan ataupun teknologi modern lainnya), adalah salah
satu hak asasi manusia yang fundamental.
Implementasi prinsip
kebebasan melalui UUD N RI Tahun 1945 dapat ditemukan juga pada pasal 28 huruf
E ayat 1 yang berbunyi :
”Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta kembali lagi.”
Prinsip kebebasan memeluk agama pada pasal 28 huruf E ayat 1 tersebut
dipertegas kembali 29 ayat 2 UUD N RI
Tahun 1945 yang berbunyi :
”Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Makna dari kedua pasal diatas,
adalah bahwa setiap orang bebas untuk menganut atau memeluk suatu agama yang
diyakini kebenarannya dan Negara Republik Indonesia memberikan jaminan penuh
bagi setiap orang untuk dengan bebas menganut agamanya dan mengamalkan ajaran
agamanya itu.[23]
Berpikir secara a contrario,
pengertian kebebasan beragama bukan berarti bebas untuk tidak menganut suatu
agama. Menurut penulis, kebebasan beragama mengandung makna yang positif,
sehubngan dengan hal itu, paham ateis, dan paham-paham lain yang mengingkari
adanya Tuhan tidak memperoleh tempat di Indonesia, karena bertentangan dengan
sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan
dirinya sebagai suatu bangsa yang mengakui adanya Tuhan.
Sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dilihat berdasarkan perspektif hukum Islam
dapat dipandang identik dengan ajaran tauhid, yang merupakan inti dari ajaran
Islam, dimanifestasikan melalui pendidikan agama yang diwajibkan sejak sekolah
dasar sampai perguruan tinggi, dan juga ditandai dengan eksistensi Departemen
Agama (sebagai salah satu lembaga eksekutif) dan peradilan agama (sebagai salah
satu lembaga yudikatif).[24]
d. Prinsip Peradilan Bebas
Prinsip peradilan yang
bebas secara tegas juga dirumuskan pada pasal 24 ayat 1 UUD N RI Tahun 1945,
yang berbunyi:
”Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.”
Pasal 24 ayat 1 UUD N RI Tahun 1945 diperkuat lagi dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
”Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.”
Prinsip peradilan bebas, pada umumnya dikaitkan dengan pemisahan kekuasaan.
Mengenai pemisahan kekuasaan ini, Ismail Suny menyimpulkan:[25]
”... bahwa dengan meminjam
teori Prof. Jennings, pada umumnya pemisahan kekuasaan dalam arti materiil
tidak terdapat dan tidak pernah dilaksanakan di Indonesia, yang ada dan
dilaksanakan ialah pemisahan kekuasaan dalam arti formil, atau dengan perkataan
lain di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dengan tidak menekankan kepada
pemisahannya, bukan pemisahan kekuasaan.”
Lebih lanjut Ismail Sunny
memberikan penjelasan tentang negara hukum dan trias politica sebagimana dibawah ini:[26]
”... bahwa dalam suatu
negara hukum yang penting bukan ada atau tidak adanya trias politica itu,
persoalannya adalah dapat atau tidakkah alat-alat kekuasaan negara itu
dihindarkan dari praktek birokrasi dan tirani.”
Ismail Sunny juga menegaskan bahwa ”sendi
negara demokrasi (kedaulatan rakyat) merupakan faktor yang menentukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung rakyat dapat menyatakan pendapatnya terhadap
kekuasaan-kekuasaan dalam suatu negara dengan terbuka dan efektif.”
Menurut penulis, pendapat Ismail Sunny ini sejalan dengan sistem nomokrasi
Islam, yang pernah diterapkan pada periode Negara Madinah, dengan pembagian
kekuasaan yang telah dimulai sejak masa Rasulullah.
Berdasarkan sudut pandang
usia, negara RI relatif adalah negara yang masih muda, karena itu jika
dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, implementasi
prinsip-prinsip negara hukum di negara Republik Indonesia meskipun secara
bertahap diharapkan mengalami peningkatan dan penyempurnaan. Sebagaimana
dialami negara-negara Barat, maka salah satu faktor yang sangat mendukung
terlaksananya prinsip-prinsip negara hukum ialah kemajuan teknologi dan dan
ekonomi. Tingkat penghidupan yang cukup tinggi merupakan faktor yang sangat
mendukung implementasi prinsip negara hukum di Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi kehidupan di Indonesia. Terkait
dengan hal yang demikian, sampai saat ini Indonesia sedang melaksanakan
pembangunan di segala bidang, serta menjalankan penegakkan hukum (walaupun
masih dalam proses) ke arah yang lebih baik.
C. SIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas
dapat ditemukan bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, mengandung prinsip-prinsip demokrasi Islam. Adapun prinsip-prinsip
tersebut adalah:
1. Prinsip Musyarawah. Esensi dari prinsip Musyawarah terletak pada
semangat musyawarah yang kooperatif dan bukan kompetitif. Semangat musyawarah,
baik dalam nomokrasi Islam maupun dalam Demokrasi Pancasila adalah kerjasama
dalam menegakkan keadilan dan kebenaran atau dalam bahasa Al-Qur’an
”berlomba-lomba dalam melakukan keadilan dan melaksanakan doktrin amar ma’ruf nahi munkar. Di Indonesia, secara
implisit prinsip musyawarah terdapat pada pasal 1 ayat 2 UUD N RI Tahun 1945.
Pasal ini merupakan penjabaran dari sila ketiga Pancasila, yang rumusannya
dapat ditemukan pada alinea ke-4 (empat) UUD N RI Tahun 1945.
2. Prinsip keadilan yang terkandung dalam sila kedua Pancasila itu
merupakan suatu pandangan filsafati bangsa Indonesia yang tidak menginginkan
adanya penindasan manusia oleh manusia yang lain; baik secara lahiriyah maupun
secara batiniah, baik oleh bangsa lain, atau dalam bahasa Al-Qur’an dapat
dikatakan bahwa bangsa Indonesia bersikap anti kedholiman (tirani).
3. Prinsip Persamaan dan
Kebebasan. Prinsip ini secara tegas ditemukan dalam pembukaan UUD N RI Tahun
1945, dan pasal 27 ayat (1) UUD N RI Tahun 1945, pasal 28 huruf E ayat (1),
yang kemudian dipertegas kembali dalam pasal 29 ayat (2) UUD N RI Tahun 1945.
4. Prinsip peradilan
yang bebas. Prinsip peradilan yang bebas ini secara tegas juga dirumuskan pada
pasal 24 ayat (1) UUD N RI Tahun 1945, dan juga diperkuat dengan Pasal 1 angka
1 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
DAFTAR BACAAN
Ahmad Syafi’i Maarif. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Studi Tentang
Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: 1985.
Daniel S. Lev. 1972. Islamic
Court in Indonesia.
Berkeley: University California
Deliar Noer. 1983. Administrasi Islam di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Risalah
dan Rajawali.
Fajar Islami. 2002. Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan
Struktur. Jakarta:
Badan Litbang Agama dan diklat Keagamaan.
Gatra, 6 Mei 2006
Hazairin. 1973. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tintamas.
H. Rahmat Djatnika. 1987. Filsafat Islam. Jakarta: Departemen
Agama RI.
Ismail Sunny. 1978. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta:
Aksara Baru.
---------------. 1978. Mekanisme Demokrasi Pancasila.
Jakarta: Aksara Baru.
Krissantono (ed). 1980. Pandangan Presiden Soeharto tentang
Pancasila.
Jakarta: Yayasan Proklamasi CSIS.
Mohammad Hatta. 1977. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu
Press.
Taufik Nugroho. 2003. Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara
Pancasila.
Yogyakarta: Padma.
[1]
Staf Pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Jember, dan Staf Pengajar di Program Magister Ilmu Hukum di
Universitas Islam Kadiri – Kediri.
[2] Indonesia mengklaim diri sebagai Negara
hukum. Istilah Negara hukum diambil dari istilah rechtsstaat. Istilah ini biasa digunakan di Belanda dan menunjuk
pada konsep negara hukum yang diterapkan di Eropa Kontinental. Istilah
lain adalah rule of law yang
digunakan dinegara-negara yang menganut sistem common law. Di negara-negara sosialis digunakan istilah sosialis legality.
[3] Fajar Islami. Pijar-Pijar Islam Pergumulan
Kultur dan Struktur. (Jakarta: Badan Litbang Agama dan diklat
Keagamaan, 2002), h. 35-41
[5] Fajar
Ismail. Op.Cit. h. 48-49
[6] Taufik Nugroho. Pasang Surut Hubungan Islam dan
Negara Pancasila. (Yogyakarta: Padma, 2003), h. 89-97
[7] Krissantono (ed). Pandangan Presiden
Soeharto tentang Pancasila. (Jakarta: Yayasan Proklamasi CSIS, 1980), h. 7.
Terkait dengan Pancasila, Presiden menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa,
mengandung pernyataan pengakuan Bangsa Indonesia Terhadap adanya Tuhan. ”Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni
1967.”
[8] Ibid
[9] Hazairin. Demokrasi Pancasila.
(Jakarta: Tintamas, 1973), h. 18-19
[10] Pasal 29 ayat (2) UUD N RI Tahun 1945
adalah sebagai berikut: “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
[11] Ibid. h. 5-7
[12] Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Masalah Kenegaraan.
Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. (Jakarta: LP3ES, 1985),
h.155 Lihat juga Mohammad Hatta. Pengertian Pancasila. (Jakarta:
Idayu Press, 1977), h. 17
[13]
Hazairin. Op.Cit. h. 19
[14] Ibid,
h. 22
[15] Ibid
[16] Lihat
QS. Al-Baqarah ayat 148, dan QS. Al-Maidah ayat 48. Arti QS. Al-Baqarah ayat
148: “dan bagi tiap-tiap
umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”. Arti
Al-Maidah ayat 48 : ”dan Kami telah
turunkan kepadamu Al-qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan, hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
[17] Lihat QS Ali Imran ayat 104, 110 dan 114,
Lihat juga At-Taubah ayat 71. Arti Ali Imran ayat 104; ”dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.”
[18]
Krissantono. Op.Cit. h. 39
[19] Lihat
QS. Al-Isra ayat 70, yang artinya : “ dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan. Kami beri rejeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”
[20] Alinea pertama Pembukaan UUD N RI Tahun
1945. Terkait hubungan dengan konsep keadilan dari sudut Islam patut
diperhatikan pandangan H. Rahmat Djatnika, bahwa pengertian adil ialah sesuatu
yang terletak di antara dua ujung, tidak di tengah. Adil itu terdiri dari yang
baik dan benar. Lihat H. Rahmat Djatnika. Filsafat Islam. (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1987), h. 175-183
[21] Para penegak hukum terdiri dari aparat
kepolisian, hakim, jaksa, dan advokat.
[22] Lihat QS. An-Nisaa ayat
59, yang artinya : ”Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
[23] Lihat Deliar Noer. Administrasi Islam di Indonesia.
(Jakarta: Yayasan Risalah dan Rajawali, 1983), h. 36-37, agama yang diakui di
Indonesia adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, pada perkembangannya
Kong Hu Chu sebagai kepercayaan orang Tionghoa, sejak era Presiden Abdurrahman
Wahid juga diperbolehkan berkembang di Indonesia.
[24] Pada sejarah RI, Departemen Agama mulai
berdiri pada tahun 1946, sedangkan Peradilan Agama sudah ada pada masa
Hindia-Belanda, yang secara resmi diatur sejak 1882. Mengenai Peradilan Agama
lihat Daniel S. Lev. Islamic Court in Indonesia. (Berkeley:
University California, 1972).
[25] Ismail Sunny. Pembagian Kekuasaan Negara.
(Jakarta: Aksara Baru, 1978), h. 49-50, dan Lihat juga Ismail Suny. Mekanisme
Demokrasi Pancasila. (Jakarta: Aksara Baru, 1978), h. 14-15.
Pemerintahan Indonesia menganut paham konstitusionalisme yang demokratis,
karena paham konstitusionalisme saja, belum menyamai sifat demokrasi suatu
negara.
[26] Ibid
Komentar
Posting Komentar
"Kritik dan Saran Yang Membangun Semua Kami Terima"